Dapur Lapang dan Makan Seadanya
Dapur lapang mengajarkan saya satu hal penting: bahwa hidup bisa tetap hangat, bahkan saat api kecil sekalipun. Dan makan seadanya, dengan tangan yang lelah dan perut yang jujur, bisa jadi bentuk kebahagiaan paling murni.
Saya selalu percaya, rasa lapar yang sebenarnya tidak muncul di restoran—tapi di pinggir hutan, setelah perjalanan panjang. Dan makan paling nikmat bukan yang disajikan di atas piring mahal, tapi yang dimasak sendiri, dengan kompor kecil, di atas tanah berdebu, dengan angin sebagai pelayan diam-diam.
Saya pertama kali merasakan nikmatnya "makan seadanya" saat camping di dekat aliran sungai kecil di lereng Merapi. Saat itu, saya hanya bawa beras, telur, dan sambal sachet. Kompor gas kaleng saya sempat ngadat, dan api susah menyala karena angin. Tapi entah kenapa, ketika akhirnya nasi setengah pera itu jadi, dan telur ceplok diletakkan di atasnya, saya merasa seperti sedang makan di meja pesta.
Dapur Lapang dan Filosofi Makan Seadanya
Dapur lapang bukan soal alat masak lengkap. Tapi tentang bagaimana kita menghargai proses. Tentang merasakan setiap detik ketika air mendidih, minyak mulai berdesis, dan aroma tumisan menyatu dengan embun pagi. Saat kita masak di alam, kita nggak bisa buru-buru. Kita belajar sabar, belajar kreatif dengan apa yang ada, dan yang paling penting—belajar bersyukur.
Saya ingat, pernah sekali saya hanya bawa mie instan dan sisa kerupuk dari perjalanan. Awalnya kecewa, karena berharap bisa masak yang lebih "wah". Tapi ketika saya duduk di atas batu, menyantap mie itu sambil menatap kabut pelan-pelan naik dari lembah, saya sadar: rasa syukur membuat segala yang sederhana jadi terasa cukup. Dan kadang, justru karena keterbatasan, kita lebih menikmati yang ada.
Di dapur lapang, kita melepas gengsi. Tak peduli merek kompor atau jenis peralatan. Tak penting kamu bawa alat masak titanium atau cuma nesting bekas. Yang penting adalah niat untuk berbagi, untuk makan bersama, dan untuk menikmati momen yang tidak bisa diulang. Karena sejatinya, masakan di alam bukan tentang rasa—tapi tentang cerita di baliknya.
Setiap kali saya masak di luar, saya merasa sedang merayakan hidup, meski hanya dengan menu sederhana. Saya diajak untuk melambat. Menakar ulang, bukan hanya bumbu, tapi juga hidup. Apakah kita benar-benar butuh semua yang kita kejar di kota? Atau sebenarnya kita hanya perlu sepiring nasi hangat dan pemandangan yang menenangkan?
Dapur lapang mengajarkan saya satu hal penting: bahwa hidup bisa tetap hangat, bahkan saat api kecil sekalipun. Dan makan seadanya, dengan tangan yang lelah dan perut yang jujur, bisa jadi bentuk kebahagiaan paling murni.