Di Balik Kanvas dan Tiang: Tenda Bukan Sekadar Tempat Tidur
kesadaran untuk hidup lebih pelan dan lebih sadar.
Saya masih ingat pertama kali mendirikan tenda sendiri. Waktu itu, saya baru saja punya tenda hasil beli dari marketplace, model paling murah, warnanya oranye terang, dan entah kenapa baunya mirip plastik mainan. Saya nekat pergi sendiri ke sebuah bukit di pinggiran Sleman. Sendirian, cuma bawa motor, matras tipis, dan satu bungkus mie.
Di tengah angin sore yang makin kencang, saya belajar mendirikan tenda sambil menahan terpal agar tidak terbang. Tanganku gemetar bukan karena takut—tapi karena belum terbiasa menghadapi alam sendirian. Tapi ketika akhirnya tenda itu berdiri, walau agak miring, ada rasa puas yang nggak bisa dijelaskan. Rasanya seperti... saya baru saja membangun rumah saya sendiri.
Di dalam tenda itu, saya tidur tanpa suara klakson, tanpa notifikasi ponsel, dan tanpa atap beton. Hanya ada dinding tipis dari kanvas, tapi entah kenapa, saya merasa lebih aman dibanding tidur di kamar kos. Mungkin karena saya tahu—malam itu saya ada di tempat yang saya pilih sendiri. Bukan tempat yang ditentukan orang lain.
Tenda Bukan Sekadar Tempat Tidur: Filosofi di Balik Kanvas dan Tiang
Tenda kecil itu mengajarkan saya banyak hal. Tentang betapa sederhananya kita bisa hidup, tentang betapa sedikitnya yang benar-benar kita butuhkan. Di rumah, saya butuh bantal empuk dan kipas angin kencang untuk bisa tidur. Tapi malam itu, dengan hanya matras tipis dan sleeping bag murah, saya tidur nyenyak karena suara serangga dan hembusan angin lebih menenangkan daripada Spotify.
Lebih dari itu, tenda juga mengajarkan saya tentang kebebasan. Kita bisa mendirikan tenda di mana pun kita mau—selama kita menjaga alam dan menghormati sekitar. Tak butuh kunci rumah, tak perlu membayar cicilan. Rumah bisa sesederhana ruang dua meter persegi yang kita dirikan sendiri. Dan justru karena kita mendirikannya sendiri, rumah itu terasa lebih hidup.
Kadang saya pikir, mungkin kita terlalu banyak menaruh makna pada rumah sebagai bangunan megah. Padahal rumah sejatinya adalah tempat di mana kita merasa cukup, merasa diterima, dan merasa damai. Dan bagi saya, malam itu, di tengah alam, tenda oranye itu adalah rumah paling jujur yang pernah saya tinggali.
Sekarang setiap kali saya mendirikan tenda, saya tidak lagi melihatnya sebagai perlengkapan camping. Tapi sebagai pengingat. Bahwa saya bisa hidup lebih sederhana. Bahwa saya boleh lelah, tapi jangan lupa berhenti dan istirahat. Bahwa tidak semua hal harus rumit dan mahal untuk terasa nyaman.
Tenda mungkin hanya tiang dan kain di mata orang lain. Tapi bagi saya ia adalah simbol kebebasan, keberanian, dan kesadaran untuk hidup lebih pelan dan lebih sadar.