Motor, Jalan Sepi, dan Keheningan yang Menyembuhkan
Motor dan jalan sepi telah menyelamatkan saya berkali-kali. Dari kejenuhan, dari stres, dari diri saya sendiri yang terlalu sibuk membuktikan sesuatu.
Ada satu hal yang selalu saya cari ketika dunia terasa terlalu ramai: jalan sepi. Dan cara terbaik untuk mencapainya bagi saya adalah dengan motor. Bukan motor besar yang bertenaga tinggi, cukup motor tua yang setiap getaran mesinnya terasa sampai ke dada. Di atas sadel itu, saya merasa menjadi manusia yang kembali utuh.
Saya tak pernah punya rencana terlalu pasti saat berkendara. Kadang hanya arahkan roda ke utara, ikuti jalan desa, dan berhenti saat merasa cukup. Di antara suara angin yang menghantam helm, dan deru mesin yang konstan seperti nyanyian rendah, saya mulai menyadari—betapa selama ini kepala saya penuh. Terlalu penuh.
Motor, Jalan Sepi, dan Keheningan yang Menyembuhkan
Motor, bagi saya, bukan soal kecepatan. Tapi tentang jeda. Ketika kita menyusuri jalan sunyi di pinggiran hutan atau membelah kabut di lereng gunung, kita mulai berdialog dengan diri sendiri. Pikiran yang biasanya riuh perlahan menepi. Tak ada klakson. Tak ada notifikasi. Hanya detak jantung yang mulai sinkron dengan irama perjalanan.
Saya pernah berhenti di sebuah jalan kecil, di tengah ladang yang luas. Tak ada siapa-siapa. Hanya suara jangkrik dan angin yang membuat ilalang menari. Saat itu saya matikan mesin, lepas helm, dan duduk di atas tangki motor yang hangat. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak—dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, saya bisa bernapas dalam-dalam.
Banyak orang mencari healing di tempat yang ramai. Tapi saya menemukannya di tikungan-tikungan sunyi, di jalanan kasar yang jarang dilewati, di keheningan yang tidak membuat takut, tapi justru menyembuhkan. Karena saat kita sendirian di atas motor, di tengah alam, tak ada topeng yang perlu dikenakan. Kita kembali menjadi manusia, bukan peran.
Motor dan jalan sepi telah menyelamatkan saya berkali-kali. Dari kejenuhan, dari stres, dari diri saya sendiri yang terlalu sibuk membuktikan sesuatu. Mereka tidak pernah menuntut. Hanya mengajak. “Ayo jalan,” kata mereka. “Tak perlu tujuan. Yang penting kamu kembali mendengar detak hatimu sendiri.”
Dan setiap kali pulang dari perjalanan itu, saya membawa sesuatu. Bukan oleh-oleh, bukan foto, tapi rasa tenang. Rasa yang hanya bisa ditemukan ketika kita cukup berani menjauh, cukup sabar melambat, dan cukup sadar bahwa... kadang, yang kita butuhkan bukan jawaban—tapi keheningan yang hangat.

